Kamis, 02 Desember 2010

Pahlawan Devisa dan Pembelaan Terhadap Kemanusiaan


“Tidak ada sesuatu kenyataan yang lebih jelas daripada kenyataan bahwa makhluk-makhluk dari jenis yang sama kiranya juga sama kedudukannya satu sama lain.”
John Locke, An Essay Concerning the True Original
Extent and End of Civil Government




Sumiati binti salam mustapa, seorang wanita Dompu berusia 23 tahun, hanyalah satu dari ribuan tenaga kerja Indonesia yang harus menanggung derita akibat kekerasan yang dilakukan majikan-majikan mereka di luar negeri. Mulai dari mendapatkan hinaan, pukulan, tendangan, dan bahkan menghilangkan salah satu bagian tubuh mereka sepertinya sudah menjadi cerita yang sering sekali diberitakan media massa. Fenomena kekerasan terhadap TKI ini pun tidak bergerak ke arah yang menggembirakan, justru pada faktanya saat ini kecenderungan kekerasan terhadap TKI meningkat sebesar 124% dari tahun 2009. Melihat fakta yang memprihatinkan tersebut pertanyaan selanjutnya adalah, apakah para pahlawan devisa Indonesia yang mayoritas mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini sudah tidak dimanusiakan lagi oleh “manusia-manusia” lainnya?.
Belum diratifikasinya konvensi internasional mengenai perlindungan buruh migran oleh pemerintah Indonesia menjadi salah satu faktor yang mempersulit posisi tawar para TKI ketika mereka mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pengguna jasa mereka, sehingga pahlawan-pahlawan devisa negeri ini hanya bisa meratapi kesedihan atau bahkan kematian mereka. Kesulitan memperoleh perlindungan hukum ini ditambah dengan tidak adanya kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi untuk meneken nota kesepahaman atau MoU antara kedua belah pihak dalam hal perlindungan TKI. Kedua faktor eksternal tersebut dilengkapi oleh amburadulnya sistem perekrutan TKI di tanah air sendiri, Amburadulnya sistem di negeri sendiri ini mencakup mulai dari proses pengurusan, pelatihan hingga penempatan TKI. Sistem yang demikian pada akhirnya menciptakan tenaga kerja yang tidak memiliki kecakapan dan penguasaan bahasa yang seadanya, alhasil hal tersebut menjadi pembenaran bagi majikan mereka untuk melakukan penyiksaan yang tak sedikit berujung pada kematian.
Terlepas dari cakap tidaknya seorang TKI, kesungguhan regulator negara untuk mencari solusi, atau pembenaran para majikan untuk menyiksa TKI, ada satu kesepakatan universal yang seharusnya kembali kita perhatikan bersama, yaitu bahwa semua manusia sejatinya memiliki kesamaan kodrat. Sangat filosofis memang, tapi hal-hal filosofis seperti inilah yang sudah jauh kita tinggalkan, terlalu banyak kita berpikir dalam tataran teknis saja tanpa pernah tersadar bahwa objek yang sedang dihadapi adalah mahluk yang sangat filosofis, yaitu manusia. Pendekatan filososis ini berusaha mengingatkan kembali posisi manusia satu dengan yang lainnya, dengan harapan manusia akan kembali memanusiakan manusia lainnya. Dengan tegas John Locke menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah sama kedudukannya satu dengan yang lainnya, dan karena kesamaan tersebut maka tidak seharusnya manusia mencederai satu sama lain dalam hidupnya, kebebasan, kesehatan atau milik pribadinya.
Dari pernyataan Locke menunjukan bahwa antara majikan dan pembantu atau antara agen dan TKI, sejatinya kedudukannya adalah sama. Hubungan yang ada hanyalah hubungan sejajar yang saling memanusiakan, bukan hubungan yang menempatkan satu pihak lebih tinggi dari pihak lainnya. Konsekuensi logis dari pernyataan tersebut adalah seorang majikan tidak berhak memandang pekerjanya lebih rendah, sehingga majikan tidak memiliki pembenaran melakukan tindakan yang tidak manusiawi kepada mereka. Begitu pula dengan pemerintah dan agen penyalur, mereka tak berhak melihat TKI sebagai mesin pencetak uang dan devisa bagi negara, sehingga mereka tak bisa hanya sekedar asal-asalan dalam mengatur dan mempersiapkan pahlawan-pahlawannya.
Kini sudah jelas bahwa menempatkan kemanusiaan kembali pada tempatnya adalah salah satu cara untuk melindungi 4,5 juta orang buruh migran Indonesia yang ada diluar negeri. Kemanusiaan harus tertanam dalam diri pemerintah, agen penyalur, pengguna jasa TKI, dan kita semua, supaya kita semua tergerak untuk memperlakukan siapapun sesuai dengan kodratnya sebagai seorang manusia. Sehingga pada akhirnya nanti kita tidak mendengar lagi pemberitaan miris mengenai kekerasan, penyiksaan, atau bahkan kematian yang harus dialami oleh TKI kita di negeri orang.


Nopi Fajar Prasetyo
Mahasiswa Antropologi Sosial
Universitas Padjadjaran

1 komentar: