Kamis, 19 Mei 2011

Analisis Film sex, lies and gender dalam perspektif antropologi


Film berdurasi sekitar 40 menit mengisahkan tentang individu-individu yang mengalami dan memilih hidup dalam kondisi intersex, transgender, dan transsexual. Semua tokoh yang terlibat dalam film tersebut mengalami pengalaman yang berbeda sebelum akhirnya mereka menentukan pilihan gendernya masing-masing. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana seorang manusia dapat memilih sendiri pilihan gendernya berdasarkan faktor fisik maupun pengendalian pikiran.
Tokoh pertama adalah Rudy, yang memilih sebagai seorang wanita setelah ia menemukan bahwa dirinya ternyata memiliki organ wanita berupa rahim. Kondisi ini disebut sebagai intersex, yaitu kondisi dimana Seorang individu memiliki karakteristik biologis dari kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kemudian tokoh kedua adalah Josy Ramero, seorang anak lelaki kecil yang lebih ingin diakui sebagai anak perempuan. Kondisi dimana anak laki-laki tersebut menginginkan gendernya sebagai seorang perempuan disebut sebagai transgender. Sedangkan tokoh ketiga, adalah seorang pria dewasa yang inkonsisten dengan anatomi tubuhnya sebagai seorang laki-laki dan memilih untuk menjadi seorang wanita, disebut sebagai transsexual.
Dari ketiga kasus tersebut, terlihat bagaimana jenis kelamin yang sudah menjadi pemberian Tuhan ternyata tidak mutlak dapat diterima begitu saja oleh individu. Pikiran mereka mengendalikan diri mereka melebihi batas biologis mereka. Walaupun dalam kenyataannya pilihan mereka berbenturan dengan kultur dan lingkungan mereka. Disini secara antropologi dapat kita lihat bagaimana mereka mencoba keluar dari pakem kultur yang ada mengenai laki-laki dan perempuan beserta perannya, mereka mengukuhkan bahwa laki-laki dan perempuan bukanlah sesuatu yang mutlak.
Hal yang menarik disini adalah, bagaimana faktor penanaman nilai-nilai didalam keluarga ternyata tidak dapat membentuk seseorang sesuai dengan jenis kelaminnya. Pada akhirnya mereka sendiri lah yang dengan kesadarannya sendiri menentukan pilihan apa yang sesuai dengan keinginan mereka. Kultur yang berlaku tidak dapat mengintervensi mereka untuk mengikuti kultur tersebut. Dengan kata lain, pengalaman psikologis mereka jauh lebih berperan dibandingkan bagaimana kultur membentuk mereka.

Nopi Fajar Prasetyo
Mahasiswa Antropologi
Universitas Padjadjaran

2 komentar: