Kamis, 02 Desember 2010

Karena Kita Indonesia, Bukan Dionesia!


Sebelum kita membicarakan Indonesia dan nasionalisme, marilah kita memasuki sebuah mesin waktu kemudian pergi ke abad 19 dan berkenalan dengan sebuah masyarakat yang digambarkan oleh seorang ahli antropologi Amerika, Franz Boas, sebagai sebuah masyarakat yang terlalu dinamikal dan agresif, suka bersaing dan berkelahi, suka adu kekuatan dan gengsi, bahkan dengan cara-cara yang ekstrem. Watak khas kebudayaan seperti ini kemudian disebut oleh Ruth Benedict, ahli antropologi psikologi, sebagai sebuah kebudayaan berwatak dionesia (Dionysian), sebuah istilah yang diambil dari sebuah tokoh dewa dalam mitologi Yunani klasik yang dikenal berkepribadian agresif dan suka menyerang.
Tapi kita tak perlu khawatir, karena sifat-sifat masyarakat yang disebutkan diatas dimiliki oleh orang-orang Kwakiutl, bukan orang Indonesia. Bangsa ini sedari dulu sudah terkenal dengan dongeng-dongengnya yang menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun, lemah lembut, selalu berkata yang baik-baik, dan selalu dipimpin oleh raja atau pemimpin yang hebat dan dicintai rakyatnya, betapa sebuah negeri yang sangat membahagiakan untuk ditinggali oleh rakyatnya.
Kesantunan bangsa ini tak hanya bergema di antara penduduknya saja, tapi juga hingga ke berbagai sudut di bumi ini. Katanya banyak bangsa asing yang datang ke Indonesia karena ingin merasakan keramahan penduduknya, setidaknya itu yang teman-teman saya yang bekerja di biro perjalanan wisata katakan, bahkan keramahannya membuat bule-bule tersebut kangen dan selalu ingin kembali lagi. Sungguh Indonesia adalah sebuah negeri yang begitu menggoda untuk dikunjungi.
Belum lagi jika mendengar cerita kakek-nenek kita pada masa dahulu, dimana warga di kampung-kampung sering sekali melakukan gotong royong dalam kebaikan, tidak terasa apa yang disebut sebagai perbedaan, kelas sosial, maupun strata ekonomi, semua bersatu dalam semangat gotong royong, dan kejujuran selalu dijunjung tinggi. Tidak ada persaingan individual yang menonjol, kelebihan yang dimiliki seseorang digunakan untuk melengkapi kelemahan yang lainnya. Kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi, begitulah jargon yang dikumandangkannya. Sekali lagi saya ingin mengatakan betapa negeri ini sangatlah ideal untuk tempat hidup bersama menjalin harmoni kemasyarakatan.
Berkaca dari dongeng-dongeng yang dilantunkan dari generasi ke generasi itu sudahlah jelas menggambarkan bahwa orang-orang Indonesia sangatlah berbeda dengan orang-orang Kwakiutl yang terlihat begitu bermasalah dan suka mencari permasalahan. Saya fikir, bermacam hal yang saya kemukakan diatas cukup untuk membangkitkan semangat nasionalisme kita terhadap bangsa ini, secara hiperbolis dapat saya katakan bahwa negeri ini terlalu indah untuk tidak dicintai. Tapi sayang seribu sayang, apa yang diceritakan diatas hanyalah sebuah dongeng, dongeng indah yang selalu di bisikkan ke setiap telinga anak negeri ini sebelum tidur, namun ketika mereka terbangun pagi harinya mereka harus mendapati sebuah kenyataan bahwa dongeng itu hanyalah mantra supaya kita bermimpi indah tentang negeri ini, namun dongeng itu sendiri tak pernah benar-benar nyata. Kasihan.
Ya, kita belum atau mungkin tak pernah benar-benar hidup dan menjadi seorang Indonesia, mungkin hanya nama negaranya saja yang bernama Indonesia, karena lebih tepatnya saat ini kita hidup dalam alam dan fikiran seorang dionesia. Baiklah mari sekarang kita hijrah dari dunia dongeng dan mulai memandang dunia nyata yang ada saat ini, dari sinilah kita mulai membangun kerangka masalah yang ada dihadapan kita, dan kita bangun nasionalisme kita dengan kritis dan tepat untuk membangun bangsa ini.
Penulis yakin sebagian dari pembaca essai ini masih mengingat kejadian pada bulan Mei 1963 di kota Bandung dan sekitarnya. Terjadi aksi anti Tionghoa di kota kembang tersebut, Aksi kerusuhan tersebut diawali dengan perkelahian di kampus ITB, antara seorang mahasiswa keturunan Tionghoa dengan seorang mahasiswa pribumi yang disebabkan hanya karena terjadinya senggolan sepeda motor. Kemudian dipelopori oleh mahasiswa dimulailah aksi massa perusakan toko-toko, rumah tinggal dan kendaraan milik etnis Tionghoa di kota Bandung. Ratusan toko, rumah tinggal, pabrik, kendaraan bermotor habis di bakar atau di rusak serta dijarah massa.
Aksi kekerasan tidak berhenti sampai disitu saja, kemudian aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa berlangsung tanpa henti-hentinya dan menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Aksi-aksi kekerasan tersebut yang terjadi terutama di pulau Jawa bukan saja secara kuantitas meningkat, tetapi juga secara kualitas, yang mencapai puncaknya kita ketahui bersama terjadi pada Tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta, dan bagi individu yang hidup pada saat itu tentunya masih mengingat betapa mencekamnya kondisi Indonesia, terutama Jakarta pada masa itu, pembunuhan, pemerkosaan, perusakan, penjarahan terhadap etnis tionghoa terjadi begitu liarnya.
Kemudian kitapun disajikan sebuah fakta bahwa di pulau Kalimantan ada 2 kelompok masyarakat yang selama bertahun-tahun berusaha saling menghancurkan satu sama lain, dua kelompok tersebut adalah sukubangsa dayak dan madura. Banyak penuturan yang menceritakan bagaimana kebencian yang ditanamkan dari generasi ke generasi terhadap kelompok lawan menjadi bagian keseharian mereka, kontak fisik yang sering sekali berujung pada kematian, bukan hanya kematian pada sedikit orang, tapi banyak orang. Darah seperti sudah menjadi hal yang wajib untuk dipersembahkan ketika konflik-konflik terbuka terjadi.
Apakah hanya di Jawa dan Kalimantan saja anak bangsa ini saling menumpahkan darah?, ternyata tidak. Ambon, Poso, Papua, Aceh, dan di berbagai tempat lainnya di Indonesia terjadi saling menghancurkan antara manusia-manusia yang katanya santun dan ramah-ramah ini. Mulai dari konflik yang terjadi turun temurun karena perbedaan sukubangsa, keinginan disintegrasi dari NKRI, kecemburuan sosial, perbedaan keyakinan, perbedaan pendapat, perbedaan memilih gubernur, gara-gara bersenggolan, kalah dalam pertandingan sepakbola, atau bahkan hanya gara-gara tatapan mata yang tidak disukai (oleh sebab itu seringkali kita mendengar seseorang mengucapkan “apa lu liat-liat gue?, ngajak ribut lu?”), semuanya bisa menjadi hal yang potensial untuk menyebabkan antar individu, antar kelompok masyarakat, atau antar kampung saling menghancurkan satu sama lain. Kalau gak ribut gak asik sepertinya.
Kini telah sangat nampak sekali kebudayaan dionesia diresapi dan dipraktekan dengan baik oleh sebuah bangsa yang bernama Indonesia ini, miris memang tapi itulah kenyataan yang harus kita terima. Kemarahan begitu dekat dengan kehidupan kita, permusuhan menjadi makanan sehari-hari dengan darah sebagai sajian utamanya, sajian berita di televisi hampir setiap hari ada kata-kata perkelahian, pembunuhan, perusakan, sebegitu dionesiakah Indonesia?. Mengapa kata-kata nasionalisme yang selalu digadang-gadang pada fakta yang muncul di masyarakat justru etnonasionalisme yang diletakan di atas nasionalisme terhadap negaranya?. Ataukah jangan-jangan nasionalisme pun hanya dongeng sebelum tidur anak-anak di negeri ini?, nasionalisme bukanlah sebuah “impian”, tapi suatu “bangunan” yang harus kita bangun dengan perjuangan yang tak mudah.
Apakah kita mau terus bangga menjadi seorang dionesia dibanding menjadi seorang indonesia?, saya fikir jawabannya adalah tidak. Sudah cukup negeri ini saling menghancurkan satu sama lain, sebuah rumah tak akan pernah bisa menjadi rumah apabila kayu dan bata rumah tersebut digunakan untuk mematahkan kayu dan bata lainnya, yang ada justru energi habis dan rumah tak akan pernah terbangun untuk ditinggali dengan nyaman. Entah sudah berapa banyak tenaga dan waktu yang habis terbuang oleh bangsa ini untuk saling bergotong royong menghancurkan rumahnya sendiri.
Sudah cukup kita membicarakan kenyataan yang penuh ironi, semakin kita membicarakannya semakin miris jadinya. Lebih baik kita kembali saja ke dongeng dan ber”nasionalisme” ria dengan dongeng-dongeng tersebut, tapi tunggu dulu, itu bukanlah sejatinya nasionalisme. Bagi saya nasionalisme yang sesungguhnya dari seorang yang mengaku Indonesia adalah ketika dirinya mampu menciptakan dongeng-dongeng tentang kedamaian Indonesia menjadi sebuah kenyataan, ya benar, kenyataan yang benar-benar nyata. Nasionalisme yang benar-benar menciptakan Indonesia menjadi rumah yang damai untuk ditinggali siapapun yang ada didalamnya.
Banyak hal yang dapat kita lakukan dengan nasionalisme kita untuk mewujudkan dongeng-dongeng indah tentang negeri ini menjadi kenyataan. Sebagai sebuah bangsa yang satu, sudah seharusnya kita tidak melihat perbedaan keyakinan, kesukuan, dan warna kulit menjadi alasan untuk bertikai. Memahami dan menerapkan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun kebudayaan adalah sebuah cara yang tepat dalam kasus ini. Dalam model masyarakat seperti ini, seorang individu dituntut untuk menciptakan sebuah masyarakat yang mempunyai kebudayaan, pola fikir, dan sikap-sikap yang yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik, berbeda-beda warna namun indah dalam sebuah kesatuan.
Kita semua mengetahui apa itu bhinneka tunggal ika, dan masyarakat yang multikultural adalah perwujudan dari semangat ke-bhinneka tunggal ika-an itu. Dalam sebuah mosaik masyarakat multikultural tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk sebuah kesatuan masyarakat yang lebih besar. Model multikulturalisme ini sebenarnya sudah dirancang oleh para pendiri Negara ini, hal itu tercantum dalam pasal 32 UUD 1945 yang bunyinya : “Kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah”. Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi merupakan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan demi terwujudnya dongeng-dongeng indah negeri ini.
Semangat nasionalisme dan cita-cita kedamaian di negeri ini tentu saja membutuhkan upaya yang harus dilakukan untuk dapat mewujudkannya. Yang pertama harus dilakukan kita sebagai anak bangsa adalah memahami dengan benar apa itu multikulturalisme, karena banyak sekali pemahaman yang keliru tentang isme ini. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Selanjutnya yang kedua adalah mengaktifkan model masyarakat multikultural Indonesia mulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga, menggantikan dionesianisme yang menjangkiti masyarakat Indonesia. Caranya adalah dengan menghindari etnosentrisme, rasisme, dan gender dalam kehidupan bermasyarakat. Hak-hak setiap individu dan komuniti serta ekspresi-ekspresi kebudayaan yang berbeda harus dihormati. Melalui pemahaman seperti ini maka perselisihan, konflik dan semacamnya dapat dihindari, dan rasa persaudaraan dalam kesederajatan dapat dibangun dan dikembangkan sehingga dongeng tentang sebuah negeri bernama Indonesia yang damai untuk ditinggali dapat menjadi kenyataan.
Seperi itulah sejatinya nasionalisme menurut saya, membawa dongeng tentang Indonesia yang damai menjadi sebuah kenyataan. Tidak perlu melakukan sebuah hal yang besar, cukup berawal dari diri kita sendiri, dengan menempatkan Indonesia diatas semua golongan, sehingga tidak ada lagi yang namanya perbedaan, karena setiap individu yang kita lihat di negeri ini adalah sama-sama seorang Indonesia. Dengan demikian tak perlu lagi ada pertumpahan darah antar anak bangsa, semua hidup saling menghargai, keramahan dapat ditemui dimana-mana, semua hidup dalam suasana persaudaraan, satu saudara sebagai orang Indonesia. Karena kita Indonesia, bukan dionesia!.

1 komentar: