Kamis, 06 Mei 2010

Antropolog (terapan) sebagai sebagai status profesional

Awal keinginan saya menulis ini adalah karena saya termasuk orang yang percaya bahwa ilmu antropologi bukan hanya sekedar adu hebat teori, tapi ilmu tersebut juga memiliki sisi praktisnya, saya percaya bahwa antropologi “praktis” tidaklah lebih rendah dari antropologi “murni”, karena menurut saya apabila antropologi itu mempelajari manusia, maka sudah seharusnyalah antropologi mengabdikan ilmunya kepada manusia pula. Antropologi terapan sebagai salah satu cabang dari ilmu antropologi hadir sebagai sebuah jalan untuk antropologi mengabdikan ilmunya kepada kemanusiaan, dan bagi saya pribadi, antropolog terapan (atau secara umum antropolog) adalah sebuah status professional. Kenapa saya bilang seperti itu?, karena seorang antropolog tak ubahnya seorang dokter, sama-sama mendiagnosa suatu masalah, kemudian memberikan resep untuk pengobatannya, perbedaannya hanya terletak pada apa yang didiagnosanya, dokter mendiagnosa masalah kesehatan seorang manusia, sedangkan seorang antropolog mendiagnosa masalah sosial sekelompok manusia.
Ketika antropologi mengembangkan konsep teoritisnya, pengetahuan faktual, dan metodologi penelitian dalam mencari tahu masalah sosial, ekonomi dan teknologi kontemporer, maka dapatlah kita sebut hal tersebut sebagai sebuah antropologi terapan. Antropologi terapan dapat digunakan secara praktis pada berbagai aspek, seperti pembangunan, kesehatan, ekonomi, dan lain sebagainya. Antropologi terapan berusaha untuk menerjemahkan hal yang bersifat teoritis ke dalam hal yang praktis dan dapat digunakan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Sudah banyak antropolog yang melakukan kontribusi praktis dalam perencanaan pembangunan dan pembuatan kebijakan, dalam hal ini memang terjadi pembedaan seperti yang Norman Long pernah katakan yaitu antara “knowledge for understanding” melawan “knowledge for action”, terlepas dari dua hal tersebut dapatlah kita katakan bahwa antropologi terapan atau pembangunan baik asumsi maupun representasinya dapat diarahkan untuk menciptakan konstruksi perubahan atau menyiapkan jalan alternatif ketika melihat pertanyaan mendasar dalam pembangunan. Dalam buku sejarah teori antropologi jilid 2 karangan koentjaraningrat, disebutkan beberapa masalah yang yang dapat dikaji oleh antropologi terapan, yaitu seperti berikut ini :

1. Masalah teori dan metodologi pembangunan :
1.1. Masalah dualisme ekonomi, atau kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan ekonomi industri di Negara-negara yang sedang membangun.
1.2. Masalah kesenjangan kemajuan sosial-budaya antara bebagai golongan sosial dan bagian-bagian tertentu dalam Negara-negara yang sedang membangun.
1.3. Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran.
1.4. Masalah peranan agama dalam pembangunan.
2. Masalah kebijaksanaan pembangunan :
2.1. Aspek manusia dalam model perencanaan-perencanaan pembangunan.
2.2. Masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke masyarakat serupa masyarakat Barat atau Amerika.
2.3. Kajian antropologi mengenai pembangunan ekonomi marxisme.
2.4. Aspek manusia dari pembangunan padat karya atau padat modal.
3. Masalah sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun, dan akibat sosial politiknya :
3.1. Masyarakat desa
3.2. Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB)
3.3. Lingkungan
3.4. Kepemimpinan dalam pembangunan
3.5. Perubahan sosial-budaya akibat pembangunan
3.6. Pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan
3.7. Aspek manusia dalam reorganisasi administrasi dan pemerintahan
3.8. Masyarakat majemuk dan integrasi nasional

Ke-16 masalah diatas menurut penulis pribadi hanyalah sebagian kecil saja dari banyaknya masalah sosial yang bisa seorang antropolog terapan kaji, sebut saja masih ada masalah pertanian, gender, kemiskinan kota, kriminalitas, kesehatan, dan banyak hal lainnya. Sedangkan dalam buku Anthropology, development and the postmodern challenge disebutkan bahwa secara umum antropologi pembangunan dapat diurutkan dalam 3 tema besar kajian , yaitu (supaya tidak terjadi salah terjemahan, maka tulisan ini saya salin dari bahasa aslinya):

1. The social and cultural effects of economic change
2. The social and cultural effects of development project (and why they fail)
3. The internal workings and discourse of the “aid industry”
Kemudian, apabila kita perhatikan, maka secara bulat dapat kita katakan bahwa peranan antropologi yang utama dalam pembangunan adalah penelitian terhadap masalah-masalah tersebut, guna membantu perencanaan pembangunan yang biasanya dilaksanakan bersama oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Produk dari penelitian terapan mungkin akan sangat bervariasi, hasil akhir dari penelitian antropologi terapan yang baik adalah memiliki komponen teoritis yang banyak, namun sesuai dengan tujuanya, juga harus menghasilkan data dan teori “praktis” dalam bentuk informasi, ide, wawasan, dan pengetahuan yang dapat dikontribusikan menjadi solusi pemecahan masalah (Foster, 47:1969).
Kemudian ketika kita berbicara mengenai konsumen dari produk antropologi terapan ini, maka kita akan mengenal berbagai macam spesialis dalam berbagai lintas disiplin yang melihat bahwa penelitian antropologi tersebut sebagai faktor penting yang mereka butuhkan dalam pekerjaan mereka. Orang-orang tersebut adalah perencana dan pembuat kebijakan, administrator program, teknisi spesialis dibidang seperti kesehatan masyarakat, pertanian, community development, dan semacamnya.
Hasil akhir yang diharapkan dari seorang antropolog terapan mengacu kepada Foster dalam bukunya Applied anthropology, dijelaskan bahwa tujuan akhir dari rangkaian penelitian adalah untuk merubah perilaku manusia untuk dapat menerima modernisasi, pembangunan sosial dan teknologi, dan peningkatan standar hidup.
Pada akhirnya, ketika seorang antropolog tersebut sudah tahu dan mampu menjalankan peran dan posisinya dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan, maka sepertinya pantaslah kalau kita sebut antropolog sebagai sebuah status professional, dengan keahlian dan spesialisasinya masing-masing dalam menganalisa gejala-gejala kemanusiaan. Maka jika seorang dokter bangga atas kemampuannya menyembuhkan penyakit seseorang, maka kita sebagai calon-calon antropolog pun harus bangga karena kita telah ditakdirkan untuk menjadi penyembuh masalah kemanusiaan.^^

Penulis : Nopi Fajar Prasetyo (Dept. Kajian Sosial Budaya HUMAN FISIP UNPAD)

2 komentar:

  1. sebuah penguatan
    sepakat dengan fajar, memang pada saat ini terkadang kita seakan enggan untuk mengakui bahwasanya ilmu kita dapat berperan besar untuk kebaikan bersama bagi umat manusia.
    mungkin kita masih terpesona dengan romantisme lama yang mendayu kita akan keagungan ilmu antropologi, dimana galur murni yang tumbuh, tiada boleh ternodai dengan keberpihakan yang mendekatkan diri pada subjektivitas.
    padahal hingga detik ini hidup manusia masih belum mencapai titik niscayanya keberpihakan, hidup masih memihak, tentunya pada keberlangsungan hidup itu sendiri.
    oleh karena itulah, sudah selayaknya kita membuka lebar cakrawala berpikir, dimana kita harus makzul akan adanya dua ciri khas dari suatu ilmu, ilmu untuk ilmu, dan ilmu untuk memanusiakan manusia sebagai makhluk yang membutuhkan ilmu untuk hidup.
    kemudian mari kita biarkan ilmu berkembang murni bersama para ahlinya dalam bingkai kesakralan ilmu, selanjutnya mari kita kembangkan ilmu tersebut bagi kemaslahatan umat manusia sebagai makhluk profan yang biasa-biasa saja.
    pada akhirnya, mari kita sepakati, apapun bentuk ilmu pengetahuan yang sedang kita bicarakan ini, tentu semuanya tak lepas dari kuasa sang pemilik ilmu itu sendiri. karena itu mari bersyukur akan ilmu yang kita terima, semoga semua ini akan menjadi ladang amal untuk kehidupan kita, amin....

    BalasHapus
  2. sebuah tokoh besar pernah berkata seperti ini, ilmu yang tidak diamalkan sama saja dengan pohon rindang yang tak berbuah, yang kemudian mati dan akhirnya hanya menjadi kayu bakar saja. dan saya fikir ilmu antropologi tak pantas jika hanya sekedar menjadi kayu bakar saja yang setelah menjadi abu kemudian tak berguna lagi. ilmu antropologi terlalu luhur untuk hal seperti itu, ilmu antropologi harusnya berada di barisan terdepan dalam menangani masalah-masalah kemanusian. saya percaya bahwa pencerahan kemanusiaan dapat dilakukan oleh para antropolog yang masih peduli dengan kemanusiaan dan keantropologian..amin

    BalasHapus