Sabtu, 16 Mei 2009

Islam dan Pluralisme

Pengantar

Pluralisme masih sering dipahami secara keliru, yang seringkali terjadi adalah pandangan bahwa semua agama yang berbeda itu sebagai sebuah kesamaan, Namun sebagian pluralis menilai paham ini ''hanya'' sekadar mengakui keberagaman orang lain, termasuk dalam beragama, tapi tidak harus setuju. Sikap seorang pluralis itu tidak serta-merta diterjemahkan sebagai toleran terhadap ajaran dan pemeluk agama lain, melainkan sekadar penghormatan. Dalam konteks kebangsaan, atau keindonesiaan, sikap saling menghormati menjadi wacana yang amat penting di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Bahkan, keberagaman menjadi bagian paling fundamental serta inhern dengan hak asasi manusia. Apalagi dalam kehidupan modern, hampir tidak ada kelompok masyarakat yang anggotanya homogen. Meski dalam kelompok kecil, mereka selalu terdiri atas masyarakat yang majemuk, baik mengenai suku, bahasa, warna kulit, agama, atau sebagainya.

Keberagaman merupakan hukum Allah (sunatullah) yang siapa pun tidak bisa menolaknya. Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai kemajemukan umat manusia. Ibnu Khaldun pernah menganalisa kemajemukan manusia dari pengaruh alam dan cuaca, dengan membaginya dalam berbagai zona.

Pandangan Islam

Bagaimana pluralisme dalam pandangan Islam?, Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan. Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama, artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Pluralisme, yang di kalangan umat muslim Indonesia masih sebatas wacana dan kurang dipraktikkan dalam kehidupan nyata, sebenarnya dikupas cukup banyak dalam Al Quran maupun hadis. Seperti pada Surat Al-Hujurat: 13,


Artinya : “Wahai manusia, Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”, Kemudian selanjutnya pluralisme disinggung pula dalam QS Yunus: 99, ''Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang berada di muka bumi ini seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?''.

Hal senada juga terdapat dalam QS An-Nahl: 93, ''Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja. Tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang kamu perbuat''. Jadi, kehendak untuk menciptakan keberagaman bukan datang dari manusia, melainkan justru datang dari Tuhan, dengan segala maksud dan tujuan-Nya. Apabila semua orang memeluk Islam, atau sebaliknya jika semuanya bukan Islam, bagaimana konteks ''Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku'' (QS Al-Kafirun: 4)?.

Tanpa keberagaman, tidak bisa dibayangkan bagaimana bentuk kehidupan dunia. Yang akan terjadi hanya kejenuhan, stagnan, kebosanan, bahkan kehancuran. Homogenitas yang dikembangkan sistem komunis pun terbukti hancur. Apabila semua orang kaya, siapa yang bisa menjalankan rukun Islam keempat (zakat), karena tidak ada lagi fakir-miskin?. Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Di Madinah, Rasulullah punya tetangga seorang Yahudi. Ketika menyembelih kambing, Nabi mengirim daging yang sudah dimasak kepada orang Yahudi tadi. Komunitas di luar Islam, sepanjang berperilaku baik dan tidak memusuhi Islam, harus diperlakukan secara baik pula. Fanatisme dalam beragama tidak harus menghilangkan sikap saling menghormati dengan umat beragama lainnya. Kesadaran ini juga berlaku dalam menyikapi berbagai aliran dalam suatu agama, apakah Islam, Nasrani, Hindu, dan sebagainya.

Melihat contoh-contoh di atas, mestinya tak ada keraguan sedikit pun bahwa Islam secara doktriner adalah agama yang sangat toleran dan melihat pluralisme sebagai suatu sunatullah mesti didorong atas dasar saling memahami, dan menghargai

Masyarakat Islam

Islam merupakan sistem kehidupan untuk mendatangkan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Allah SWT telah menurunkan Islam untuk mengatur tata kehidupan manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini didasarkan pada perintah Allah SWT. Dalam sistem Islam, warga non-Muslim harta, jiwa dan kehormatan mereka dilindungi. Di dalam Islam, umat lain akan mendapatkan perlindungan yang penuh dari negara, dengan jaminan kebutuhan hidup; sandang, papan dan pangan yang sama, juga jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Bukankah Rasul sendiri pernah mengatakan (yang artinya): Siapa yang menzalimi non-Muslim yang telah melakukan perjanjian atau meremehkannya, membebaninya di luar batas kemampuan, mengambil sesuatu tanpa kerelaannya, maka aku menjadi musuhnya pada Hari Kiamat[1]. Karenanya, syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah mengharuskan pencegahan atas adanya penindasan, penghinaan, penyiksaan dan pengusiran, baik dilakukan oleh sesama warga maupun oleh negara.

Berkaitan dengan akidah, warga non-Muslim dibiarkan untuk memiliki keyakinan mereka masing-masing. Tidak boleh ada paksaan dalam keyakinan dan peribadatan; mereka boleh menganut Islam dengan sukarela dan atas pilihannya, seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 256 : Tidak adapaksaan dalam agama. Sesungguhnya, telah jelas jalan yang benar dari yang sesat. Karena itu, barangsiapa ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat dan tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

Sementara itu, dalam masalah hukum, ada aturan yang menjadikan Islam sebagai syarat penerapannya, namun ada pula yang tidak mensyaratkan Islam. Shalat, zakat, haji, puasa, dan sebagainya merupakan hukum yang mensyaratkan keislaman. Dalam hal-hal tersebut, hukum Islam hanya berlaku bagi kaum Muslim saja. Warga non-Muslim tidak boleh dipaksa untuk menunaikannya. Sebaliknya, mereka dipersilakan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya; termasuk di dalamnya hal-hal yang bersifat pribadi seperti pernikahan, tatacara mewarisi, boleh poligami atau tidak, perceraian, pakaian, dan hal-hal sejenis yang dipandang sebagai bagian dari akidah agamanya. Semua itu menjadi hak warga non-Muslim untuk menjalankannya sesuai dengan aturan agamanya masing-masing. Dalam pemerintahan Islam kaum Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dll dijamin untuk menjalankan ibadah dan ritual keagamaan tanpa adanya gangguan dari siapapun. Dengan kata lain, hal-hal yang terkait dengan porsi agamanya, mereka diperkenankan untuk melaksanakan ajaran agamanya itu. Dalam persoalan ini mereka tidak boleh dipaksa untuk melaksanakan syariah Islam.

Islam dan Sekulerisme

Secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin) yang memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu. Atau lebih tepatnya menunjukkan kepada waktu sekarang dan di sini, dunia ini. Sehingga, sungguh tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly dalam bahasa inggrisnya. Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Kebebasan yang salah kaprah itu mengantar orang kepada tindakan kontraproduktif seperti pelanggaran aturan hukum, sampai pelanggaran akidah agama. Benar, agama masuk wilayah pribadi yang tidak seorang pun berhak mencampuri. Namun kehidupan sekuler yang tidak pandang bulu ini, membuat agama terpinggirkan. Karena itu pemuka agama sendiri menyatakan sekulerisme bertentangan dengan prinsip Islam.

Pegang teguhlah Islam sebab Islamlah yang menjamin tegaknya moralitas, memperbaiki perilaku dan mengantarkan setiap jiwa meraih kebaikan. Komitmen terhadap agama akan membawa umat menghayati nilai luhur kemanusiaan yang tidak ditemukan dalam kehidupan sekuler. Terlebih, bila berbicara soal prinsip di mana Allah SWT dengan fiqih muamalat sebagai hasil rumusan penemuan fuqaha dengan mengacu syariat, pilar, tujuan dan batasannya, tidak bisa lain kecuali harus melaksanakannya secara konsisten.

Jika berbicara tentang kebebasan sebagai lawan 'penghambaan' (ubudiyyah), kebebasan tersebut bukanlah kebebasan menurut versi kaum sekuler dan penganut paham materialis yang cenderung pada hal-hal yang diharamkan agama, tetapi kebebasan yang dikendalikan dan dibatasi dengan batasan Allah. Dan Allah SWT berfirman; "Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna ..." (QS 11:15), "Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih daripada akhirat ..." (QS 16:107), "Ada pun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal-(nya)" (QS 79:37-39).



Dari berbagai sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar