Kamis, 02 Desember 2010

Karena Kita Indonesia, Bukan Dionesia!


Sebelum kita membicarakan Indonesia dan nasionalisme, marilah kita memasuki sebuah mesin waktu kemudian pergi ke abad 19 dan berkenalan dengan sebuah masyarakat yang digambarkan oleh seorang ahli antropologi Amerika, Franz Boas, sebagai sebuah masyarakat yang terlalu dinamikal dan agresif, suka bersaing dan berkelahi, suka adu kekuatan dan gengsi, bahkan dengan cara-cara yang ekstrem. Watak khas kebudayaan seperti ini kemudian disebut oleh Ruth Benedict, ahli antropologi psikologi, sebagai sebuah kebudayaan berwatak dionesia (Dionysian), sebuah istilah yang diambil dari sebuah tokoh dewa dalam mitologi Yunani klasik yang dikenal berkepribadian agresif dan suka menyerang.
Tapi kita tak perlu khawatir, karena sifat-sifat masyarakat yang disebutkan diatas dimiliki oleh orang-orang Kwakiutl, bukan orang Indonesia. Bangsa ini sedari dulu sudah terkenal dengan dongeng-dongengnya yang menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun, lemah lembut, selalu berkata yang baik-baik, dan selalu dipimpin oleh raja atau pemimpin yang hebat dan dicintai rakyatnya, betapa sebuah negeri yang sangat membahagiakan untuk ditinggali oleh rakyatnya.
Kesantunan bangsa ini tak hanya bergema di antara penduduknya saja, tapi juga hingga ke berbagai sudut di bumi ini. Katanya banyak bangsa asing yang datang ke Indonesia karena ingin merasakan keramahan penduduknya, setidaknya itu yang teman-teman saya yang bekerja di biro perjalanan wisata katakan, bahkan keramahannya membuat bule-bule tersebut kangen dan selalu ingin kembali lagi. Sungguh Indonesia adalah sebuah negeri yang begitu menggoda untuk dikunjungi.
Belum lagi jika mendengar cerita kakek-nenek kita pada masa dahulu, dimana warga di kampung-kampung sering sekali melakukan gotong royong dalam kebaikan, tidak terasa apa yang disebut sebagai perbedaan, kelas sosial, maupun strata ekonomi, semua bersatu dalam semangat gotong royong, dan kejujuran selalu dijunjung tinggi. Tidak ada persaingan individual yang menonjol, kelebihan yang dimiliki seseorang digunakan untuk melengkapi kelemahan yang lainnya. Kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi, begitulah jargon yang dikumandangkannya. Sekali lagi saya ingin mengatakan betapa negeri ini sangatlah ideal untuk tempat hidup bersama menjalin harmoni kemasyarakatan.
Berkaca dari dongeng-dongeng yang dilantunkan dari generasi ke generasi itu sudahlah jelas menggambarkan bahwa orang-orang Indonesia sangatlah berbeda dengan orang-orang Kwakiutl yang terlihat begitu bermasalah dan suka mencari permasalahan. Saya fikir, bermacam hal yang saya kemukakan diatas cukup untuk membangkitkan semangat nasionalisme kita terhadap bangsa ini, secara hiperbolis dapat saya katakan bahwa negeri ini terlalu indah untuk tidak dicintai. Tapi sayang seribu sayang, apa yang diceritakan diatas hanyalah sebuah dongeng, dongeng indah yang selalu di bisikkan ke setiap telinga anak negeri ini sebelum tidur, namun ketika mereka terbangun pagi harinya mereka harus mendapati sebuah kenyataan bahwa dongeng itu hanyalah mantra supaya kita bermimpi indah tentang negeri ini, namun dongeng itu sendiri tak pernah benar-benar nyata. Kasihan.
Ya, kita belum atau mungkin tak pernah benar-benar hidup dan menjadi seorang Indonesia, mungkin hanya nama negaranya saja yang bernama Indonesia, karena lebih tepatnya saat ini kita hidup dalam alam dan fikiran seorang dionesia. Baiklah mari sekarang kita hijrah dari dunia dongeng dan mulai memandang dunia nyata yang ada saat ini, dari sinilah kita mulai membangun kerangka masalah yang ada dihadapan kita, dan kita bangun nasionalisme kita dengan kritis dan tepat untuk membangun bangsa ini.
Penulis yakin sebagian dari pembaca essai ini masih mengingat kejadian pada bulan Mei 1963 di kota Bandung dan sekitarnya. Terjadi aksi anti Tionghoa di kota kembang tersebut, Aksi kerusuhan tersebut diawali dengan perkelahian di kampus ITB, antara seorang mahasiswa keturunan Tionghoa dengan seorang mahasiswa pribumi yang disebabkan hanya karena terjadinya senggolan sepeda motor. Kemudian dipelopori oleh mahasiswa dimulailah aksi massa perusakan toko-toko, rumah tinggal dan kendaraan milik etnis Tionghoa di kota Bandung. Ratusan toko, rumah tinggal, pabrik, kendaraan bermotor habis di bakar atau di rusak serta dijarah massa.
Aksi kekerasan tidak berhenti sampai disitu saja, kemudian aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa berlangsung tanpa henti-hentinya dan menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Aksi-aksi kekerasan tersebut yang terjadi terutama di pulau Jawa bukan saja secara kuantitas meningkat, tetapi juga secara kualitas, yang mencapai puncaknya kita ketahui bersama terjadi pada Tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta, dan bagi individu yang hidup pada saat itu tentunya masih mengingat betapa mencekamnya kondisi Indonesia, terutama Jakarta pada masa itu, pembunuhan, pemerkosaan, perusakan, penjarahan terhadap etnis tionghoa terjadi begitu liarnya.
Kemudian kitapun disajikan sebuah fakta bahwa di pulau Kalimantan ada 2 kelompok masyarakat yang selama bertahun-tahun berusaha saling menghancurkan satu sama lain, dua kelompok tersebut adalah sukubangsa dayak dan madura. Banyak penuturan yang menceritakan bagaimana kebencian yang ditanamkan dari generasi ke generasi terhadap kelompok lawan menjadi bagian keseharian mereka, kontak fisik yang sering sekali berujung pada kematian, bukan hanya kematian pada sedikit orang, tapi banyak orang. Darah seperti sudah menjadi hal yang wajib untuk dipersembahkan ketika konflik-konflik terbuka terjadi.
Apakah hanya di Jawa dan Kalimantan saja anak bangsa ini saling menumpahkan darah?, ternyata tidak. Ambon, Poso, Papua, Aceh, dan di berbagai tempat lainnya di Indonesia terjadi saling menghancurkan antara manusia-manusia yang katanya santun dan ramah-ramah ini. Mulai dari konflik yang terjadi turun temurun karena perbedaan sukubangsa, keinginan disintegrasi dari NKRI, kecemburuan sosial, perbedaan keyakinan, perbedaan pendapat, perbedaan memilih gubernur, gara-gara bersenggolan, kalah dalam pertandingan sepakbola, atau bahkan hanya gara-gara tatapan mata yang tidak disukai (oleh sebab itu seringkali kita mendengar seseorang mengucapkan “apa lu liat-liat gue?, ngajak ribut lu?”), semuanya bisa menjadi hal yang potensial untuk menyebabkan antar individu, antar kelompok masyarakat, atau antar kampung saling menghancurkan satu sama lain. Kalau gak ribut gak asik sepertinya.
Kini telah sangat nampak sekali kebudayaan dionesia diresapi dan dipraktekan dengan baik oleh sebuah bangsa yang bernama Indonesia ini, miris memang tapi itulah kenyataan yang harus kita terima. Kemarahan begitu dekat dengan kehidupan kita, permusuhan menjadi makanan sehari-hari dengan darah sebagai sajian utamanya, sajian berita di televisi hampir setiap hari ada kata-kata perkelahian, pembunuhan, perusakan, sebegitu dionesiakah Indonesia?. Mengapa kata-kata nasionalisme yang selalu digadang-gadang pada fakta yang muncul di masyarakat justru etnonasionalisme yang diletakan di atas nasionalisme terhadap negaranya?. Ataukah jangan-jangan nasionalisme pun hanya dongeng sebelum tidur anak-anak di negeri ini?, nasionalisme bukanlah sebuah “impian”, tapi suatu “bangunan” yang harus kita bangun dengan perjuangan yang tak mudah.
Apakah kita mau terus bangga menjadi seorang dionesia dibanding menjadi seorang indonesia?, saya fikir jawabannya adalah tidak. Sudah cukup negeri ini saling menghancurkan satu sama lain, sebuah rumah tak akan pernah bisa menjadi rumah apabila kayu dan bata rumah tersebut digunakan untuk mematahkan kayu dan bata lainnya, yang ada justru energi habis dan rumah tak akan pernah terbangun untuk ditinggali dengan nyaman. Entah sudah berapa banyak tenaga dan waktu yang habis terbuang oleh bangsa ini untuk saling bergotong royong menghancurkan rumahnya sendiri.
Sudah cukup kita membicarakan kenyataan yang penuh ironi, semakin kita membicarakannya semakin miris jadinya. Lebih baik kita kembali saja ke dongeng dan ber”nasionalisme” ria dengan dongeng-dongeng tersebut, tapi tunggu dulu, itu bukanlah sejatinya nasionalisme. Bagi saya nasionalisme yang sesungguhnya dari seorang yang mengaku Indonesia adalah ketika dirinya mampu menciptakan dongeng-dongeng tentang kedamaian Indonesia menjadi sebuah kenyataan, ya benar, kenyataan yang benar-benar nyata. Nasionalisme yang benar-benar menciptakan Indonesia menjadi rumah yang damai untuk ditinggali siapapun yang ada didalamnya.
Banyak hal yang dapat kita lakukan dengan nasionalisme kita untuk mewujudkan dongeng-dongeng indah tentang negeri ini menjadi kenyataan. Sebagai sebuah bangsa yang satu, sudah seharusnya kita tidak melihat perbedaan keyakinan, kesukuan, dan warna kulit menjadi alasan untuk bertikai. Memahami dan menerapkan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun kebudayaan adalah sebuah cara yang tepat dalam kasus ini. Dalam model masyarakat seperti ini, seorang individu dituntut untuk menciptakan sebuah masyarakat yang mempunyai kebudayaan, pola fikir, dan sikap-sikap yang yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik, berbeda-beda warna namun indah dalam sebuah kesatuan.
Kita semua mengetahui apa itu bhinneka tunggal ika, dan masyarakat yang multikultural adalah perwujudan dari semangat ke-bhinneka tunggal ika-an itu. Dalam sebuah mosaik masyarakat multikultural tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk sebuah kesatuan masyarakat yang lebih besar. Model multikulturalisme ini sebenarnya sudah dirancang oleh para pendiri Negara ini, hal itu tercantum dalam pasal 32 UUD 1945 yang bunyinya : “Kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah”. Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi merupakan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan demi terwujudnya dongeng-dongeng indah negeri ini.
Semangat nasionalisme dan cita-cita kedamaian di negeri ini tentu saja membutuhkan upaya yang harus dilakukan untuk dapat mewujudkannya. Yang pertama harus dilakukan kita sebagai anak bangsa adalah memahami dengan benar apa itu multikulturalisme, karena banyak sekali pemahaman yang keliru tentang isme ini. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Selanjutnya yang kedua adalah mengaktifkan model masyarakat multikultural Indonesia mulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga, menggantikan dionesianisme yang menjangkiti masyarakat Indonesia. Caranya adalah dengan menghindari etnosentrisme, rasisme, dan gender dalam kehidupan bermasyarakat. Hak-hak setiap individu dan komuniti serta ekspresi-ekspresi kebudayaan yang berbeda harus dihormati. Melalui pemahaman seperti ini maka perselisihan, konflik dan semacamnya dapat dihindari, dan rasa persaudaraan dalam kesederajatan dapat dibangun dan dikembangkan sehingga dongeng tentang sebuah negeri bernama Indonesia yang damai untuk ditinggali dapat menjadi kenyataan.
Seperi itulah sejatinya nasionalisme menurut saya, membawa dongeng tentang Indonesia yang damai menjadi sebuah kenyataan. Tidak perlu melakukan sebuah hal yang besar, cukup berawal dari diri kita sendiri, dengan menempatkan Indonesia diatas semua golongan, sehingga tidak ada lagi yang namanya perbedaan, karena setiap individu yang kita lihat di negeri ini adalah sama-sama seorang Indonesia. Dengan demikian tak perlu lagi ada pertumpahan darah antar anak bangsa, semua hidup saling menghargai, keramahan dapat ditemui dimana-mana, semua hidup dalam suasana persaudaraan, satu saudara sebagai orang Indonesia. Karena kita Indonesia, bukan dionesia!.

Bersama Kita Makan!


Ratusan juta orang mederita kelaparan dan gizi buruk di seluruh dunia, jutaan orang ada di Indonesia dan mungkin sebagian dari mereka ada di sekitar kita. Apapun yang menjadi tolak ukurnya, kelaparan dan malnutrisi adalah hambatan yang paling besar bagi pembangunan kesehatan di sebagian besar Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Masalah gizi buruk disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari ketidakmampuan negara untuk menghasilkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya, kebiasaan makan yang buruk, dan juga disebabkan oleh kepercayaan yang keliru akan hubungan antara makanan dan kesehatan.
Sebagai seorang pemuda tentunya akan terlalu jauh dan akan terlalu mengawang jika kita berbicara dalam tataran negara atau dunia, lebih baik kita berbicara dalam tataran yang lebih kecil untuk bisa berbuat sebesar mungkin dalam rangka berkontribusi dalam mengentaskan kelaparan dan kemiskinan. Satu hal yang bisa kita lakukan sebagai pemuda adalah dengan mengorganisasikan rekan-rekan sebaya kita untuk bersama-sama membentuk sebuah program community development di bidang kesehatan pada masyarakat yang terindikasi mengalami kelaparan dan malnutrisi. Ini bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi sebuah hal konkrit yang bisa kita lakukan untuk membantu sesama yang berada di sekitar kita dalam membuat mereka berdaya dan keluar dari ketidakberuntungannya dengan kekuatan yang mereka punya.
Community development adalah sebuah bentuk kegiatan kolektif yang dilakukan dengan tujuan sebuah masyarakat mencapai taraf kehidupan lebih baik lagi dalam usaha untuk membuat perut masyarakat terjaga dari rasa lapar dan tidak kekurangan nutrisi. Usaha pertama yang dapat kita lakukan adalah dengan melihat apakah disekitar kita atau di tempat yang lain ada sekelompok masyarakat yang harus berjuang melawan kelaparan setiap hari. Setelah kita mendapati sebuah fakta bahwa kelaparan sedang terjadi maka langkah selanjutnya adalah kita harus meyakinkan diri kita bahwa kita siap untuk berkontribusi bagi mereka, baiklah mari kita mulai pengabdian kita dari sini.
Hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah melihat bagaimana karakteristik masyarakat tersebut, bagaimana sifat, budaya, dan psikologis mereka nerkaitan dengan kesehatan, sehingga kita dapat mengetahui dimanakah posisi makanan dan nutrisi dalam kehidupan mereka (saya agak mengesampingkan faktor ekonomi karena menurut saya faktor ekonomi adalah sesuatu yang klise, ada pendekatan dengan dimensi lain yang menurut saya bisa dijadikan sebuah cara untuk mengentaskan kelaparan dan malnutrisi, yaitu dimensi sosiokultural). Setelah kita mengetahui bagaimana karakteristiknya, usaha selanjutnya adalah berusaha menyadarkan masyarakat tersebut bahwa ada sebuah masalah ataupun potensi masalah yang berhubungan dengan kesehatan mereka yang mengancam masa depan mereka di kemudian hari.
Setelah masyarakat sadar akan masalah yang sedang mereka hadapi maka langkah selanjutnya adalah membuat mereka mampu untuk memahami hubungan antara makanan dan kesehatan. Untuk mengatasi kelaparan, kita dapat menganalisa potensi alam apa saja yang ada disekitar mereka untuk mereka olah sebagai sumber pangan yang mampu mencukupi kebutuhan mereka, jikalau tidak ada maka kita dapat menjadi inisiator untuk mengaktifkan bentuk-bentuk pranata masyarakat yang mampu mencukupi kebutuhan itu, seperti contoh memberdayakan kelompok petani, dan mengaktifkan nilai-nilai budaya tentang tepo seliro, guyub rukun, gotong royong sebagai sebuah aspek kesetiakawanan sosial dalam aspek kesehatan, dan sebagainya sebagai sebuah model untuk menciptakan masyarakat yang saling menguatkan satu sama lain.
Kemudian untuk masalah malnutrisi, penyebab yang paling umum selain ketidakmampuan seseorang memenuhi asupan gizinya adalah karena kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu bisa digunakan dengan sebaik-baiknya. Sebagian masyarakat berpikir bahwa makanan yang cukup cenderung ditafsirkan dalam rangka kuantitas, bukan kualitasnya, maka tak heran malnutrisi pun bisa terjadi di daerah yang sebenarnya memiliki cukup bahan pangan. Berdasar kepada hal tersebut maka kita dapat melakukan sebuah pemahaman bahwa bukan jumlah lah yang harus dicapai, tapi kebutuhan yang sesuai takarannya lah yang harus dicapai.
Masalah kelaparan dan malnutrisi dan usaha untuk mengatasinya telah diuraikan diatas, langkah terakhir yang harus kita lakukan adalah membuat masyarakat percaya kepada diri mereka sendiri bahwa mereka mampu untuk melihat bahwa ini bukanlah semata-mata akibat dari kemiskinan (pada zaman lampau pun manusia bisa hidup sehat dan jauh dari kelaparan tanpa uang), tapi ini adalah tentang bagaimana mereka mengoptimalkan alam dan masyarakat yang ada disekitar mereka untuk kehidupan mereka, dan didorong dengan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara makanan dan kesehatan, maka saya jamin masyarakat akan terbebas dari kelaparan dan malnutrisi.
Terakhir, sebagai pemuda, marilah kita bersama-sama lakukan hal-hal yang kecil untuk sebuah perubahan yang besar dalam kesehatan masyarakat, lebih baik menyelamatkan satu orang dari kelaparan dan malnutrisi daripada tidak sama sekali.


Nopi Fajar Prasetyo
Mahasiswa Antropologi
Universitas Padjadjaran

Individu dan Pembelajaran dalam Masyarakat


Membaca judul tulisan ini, penulis yakin pasti akan ada pro dan kontra berkaitan dengan pernyataan tersebut. Baik atau buruknya perilaku seseorang memang tidak dapat digeneralisir sebagai mutlak hasil dari bentukan masyarakat dimana ia tinggal, belum tentu seorang yang hidup di lingkungan agamis menjadi seorang yang dalam kesehariannya menunjukan sikap-sikap rohaniah, dan belum tentu juga seorang yang tiap hari bergaul dengan pencuri akan menjadi penghuni penjara. Semuanya memang dikembalikan lagi kepada individu masing-masing, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa faktor lingkungan sosial berpengaruh besar dalam membentuk sebuah individu, karena disinilah pembelajaran nilai-nilai mengenai baik-buruk, benar-salah, dosa-pahala, dan sebagainya berlangsung.
Proses belajar individu dalam masyarakat secara garis besar terbagi menjadi 3, yaitu internalisasi (internalization), sosialisai (socialization), dan enkulturasi (enculturation). Ketiga proses tersebut sama-sama memiliki porsi yang besar dalam menciptakan kepribadian seseorang, kesemuanya merupakan proses yang pasti dilalui oleh seorang yang tergabung dalam sebuah kesatuan bernama masyarakat, dan proses-proses tersebut akan dilalui mulai dari kita lahir hingga kematian menjelang. Dibawah ini akan dijelaskan satu persatu mengenai proses-proses tersebut dan juga akan dijelaskan pentingnya menciptakan masyarakat yang baik untuk terciptanya individu-individu yang baik.
Proses internalisasi adalah sebuah proses panjang individu sejak ia lahir hingga ia meninggal, dimana ia belajar untuk menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan hasrat, nafsu, serta emosi yang kelak akan diperlukannya dalam kehidupan yang dalam perjalanannya dibantu oleh individu-individu lain disekitarnya. Manusia ibarat sebuah kertas putih tentunya mengharapkan kertas itu dilukis dengan indah, dan orang-orang disekitarnyalah yang punya peran dalam melukis kertas putih itu, jika kita sadar bahwa kertas putih itu adalah sebuah amanah Tuhan, maka kitapun akan melukisnya dengan indah, dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan yang universal sehingga tidak terjadi bias nilai.
Proses sosialisasi adalah sebuah proses belajar individu dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya mengenai pola-pola tindakan dalam interaksi antara dirinya dengan individu disekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial. Dalam hal ini individu belajar bagaimana berperilaku dengan cara bagaimana orang-orang disekitarnya bersikap kepadannya, dan dengan melihat perilaku orang-orang yang ada disekitarnya. Dengan kata lain, seorang yang diperlakukan penuh kekerasan oleh lingkungannya, maka akan ada sebuah kecederungan untuk menimbulkan trauma pada individu tersebut, dan itu akan dibawa selama masa hidupnya yang berdampak tidak hanya pada dirinya, tapi juga orang lain.
Proses yang ketiga, enkulturasi adalah sebuah proses dimana seorang mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam masyarakatnya. Disini terjadi sebuah permasalahan yang krusial, ketika individu itu hidup dalam lingkungan sosial yang baik tentu tidak menjadi sebuah masalah ketika ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, tapi akan menjadi sebuah masalah jika individu itu hidup dalam lingkungan masyarakat yang tergolong tidak baik, nilai dan norma yang baik secara universal harus ia dobrak dalam rangka usahanya menyesuaikan diri dengan masyarakat tempat ia hidup.
Saya rasa sudah sangat jelas bagaimana sangat berperannya masyarakat dalam mencetak individu. Sebagai seseorang yang menghrapkan terciptanya sebuah masyarakat yang sehat tentunya kitapun harus sadar akan peran kita dalam membentuk manusia-manusia yang “putih”, karena itu adalah tanggung jawab kita bersama, kita sebagai masyarakat adalah sebuah kesatuan mekanis, yang jika rusak satu bagian, maka bagian lainnya pun akan terganggu.


Nopi Fajar Prasetyo
Mahasiswa Antropologi
Universitas Padjadjaran

Pahlawan Devisa dan Pembelaan Terhadap Kemanusiaan


“Tidak ada sesuatu kenyataan yang lebih jelas daripada kenyataan bahwa makhluk-makhluk dari jenis yang sama kiranya juga sama kedudukannya satu sama lain.”
John Locke, An Essay Concerning the True Original
Extent and End of Civil Government




Sumiati binti salam mustapa, seorang wanita Dompu berusia 23 tahun, hanyalah satu dari ribuan tenaga kerja Indonesia yang harus menanggung derita akibat kekerasan yang dilakukan majikan-majikan mereka di luar negeri. Mulai dari mendapatkan hinaan, pukulan, tendangan, dan bahkan menghilangkan salah satu bagian tubuh mereka sepertinya sudah menjadi cerita yang sering sekali diberitakan media massa. Fenomena kekerasan terhadap TKI ini pun tidak bergerak ke arah yang menggembirakan, justru pada faktanya saat ini kecenderungan kekerasan terhadap TKI meningkat sebesar 124% dari tahun 2009. Melihat fakta yang memprihatinkan tersebut pertanyaan selanjutnya adalah, apakah para pahlawan devisa Indonesia yang mayoritas mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini sudah tidak dimanusiakan lagi oleh “manusia-manusia” lainnya?.
Belum diratifikasinya konvensi internasional mengenai perlindungan buruh migran oleh pemerintah Indonesia menjadi salah satu faktor yang mempersulit posisi tawar para TKI ketika mereka mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pengguna jasa mereka, sehingga pahlawan-pahlawan devisa negeri ini hanya bisa meratapi kesedihan atau bahkan kematian mereka. Kesulitan memperoleh perlindungan hukum ini ditambah dengan tidak adanya kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi untuk meneken nota kesepahaman atau MoU antara kedua belah pihak dalam hal perlindungan TKI. Kedua faktor eksternal tersebut dilengkapi oleh amburadulnya sistem perekrutan TKI di tanah air sendiri, Amburadulnya sistem di negeri sendiri ini mencakup mulai dari proses pengurusan, pelatihan hingga penempatan TKI. Sistem yang demikian pada akhirnya menciptakan tenaga kerja yang tidak memiliki kecakapan dan penguasaan bahasa yang seadanya, alhasil hal tersebut menjadi pembenaran bagi majikan mereka untuk melakukan penyiksaan yang tak sedikit berujung pada kematian.
Terlepas dari cakap tidaknya seorang TKI, kesungguhan regulator negara untuk mencari solusi, atau pembenaran para majikan untuk menyiksa TKI, ada satu kesepakatan universal yang seharusnya kembali kita perhatikan bersama, yaitu bahwa semua manusia sejatinya memiliki kesamaan kodrat. Sangat filosofis memang, tapi hal-hal filosofis seperti inilah yang sudah jauh kita tinggalkan, terlalu banyak kita berpikir dalam tataran teknis saja tanpa pernah tersadar bahwa objek yang sedang dihadapi adalah mahluk yang sangat filosofis, yaitu manusia. Pendekatan filososis ini berusaha mengingatkan kembali posisi manusia satu dengan yang lainnya, dengan harapan manusia akan kembali memanusiakan manusia lainnya. Dengan tegas John Locke menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah sama kedudukannya satu dengan yang lainnya, dan karena kesamaan tersebut maka tidak seharusnya manusia mencederai satu sama lain dalam hidupnya, kebebasan, kesehatan atau milik pribadinya.
Dari pernyataan Locke menunjukan bahwa antara majikan dan pembantu atau antara agen dan TKI, sejatinya kedudukannya adalah sama. Hubungan yang ada hanyalah hubungan sejajar yang saling memanusiakan, bukan hubungan yang menempatkan satu pihak lebih tinggi dari pihak lainnya. Konsekuensi logis dari pernyataan tersebut adalah seorang majikan tidak berhak memandang pekerjanya lebih rendah, sehingga majikan tidak memiliki pembenaran melakukan tindakan yang tidak manusiawi kepada mereka. Begitu pula dengan pemerintah dan agen penyalur, mereka tak berhak melihat TKI sebagai mesin pencetak uang dan devisa bagi negara, sehingga mereka tak bisa hanya sekedar asal-asalan dalam mengatur dan mempersiapkan pahlawan-pahlawannya.
Kini sudah jelas bahwa menempatkan kemanusiaan kembali pada tempatnya adalah salah satu cara untuk melindungi 4,5 juta orang buruh migran Indonesia yang ada diluar negeri. Kemanusiaan harus tertanam dalam diri pemerintah, agen penyalur, pengguna jasa TKI, dan kita semua, supaya kita semua tergerak untuk memperlakukan siapapun sesuai dengan kodratnya sebagai seorang manusia. Sehingga pada akhirnya nanti kita tidak mendengar lagi pemberitaan miris mengenai kekerasan, penyiksaan, atau bahkan kematian yang harus dialami oleh TKI kita di negeri orang.


Nopi Fajar Prasetyo
Mahasiswa Antropologi Sosial
Universitas Padjadjaran