Sabtu, 16 Mei 2009

Masyarakat peranakan Eropa di Minahasa

1. Awal Masuknya Bangsa Eropa ke Minahasa

Pengenalan tanah Minahasa oleh bangsa-bangsa Barat diawali dengan kedatangan musafir Spanyol pada 1532. Bermula sejak bandar Malaka didatangi kapal-kapal Portugis pimpinan D'Abulquergue pada 1511 membuka jalur laut menuju gugusan kepulauan Maluku. Jalur ini kemudian baru dimapankan pada 1521. Sebelumnya kapal-kapal Spanyol pimpinan Ferdinand Magelhaens merintis pelayaran dalam usaha tujuan serupa yang dilakukan Portugis. Bedanya jalur ini dilakukan dari ujung benua Amerika-Selatan melintasi samudera Pasifik dan mendarat di kepulauan Sangir Talaud di laut Sulawesi.

Sebelum menguasai kepulauan Filipina pada 1543, Spanyol menjadikan pulau Manado Tua sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Dari pulau tersebut kapal-kapal Spanyol memasuki daratan Sulawesi-Utara melalui sungai Tondano. Hubungan musafir Spanyol dengan penduduk pedalaman terjalin melalui barter ekonomi bermula di Uwuran (sekarang kota Amurang) ditepi sungai Rano I Apo. Perdagangan barter berupa beras, damar, madu dan hasil hutan lainnya dengan ikan dan garam serta Gudang Kopi.

Minahasa menjadi penting bagi Spanyol, karena kesuburan tanahnya dan digunakan Spanyol untuk penanaman kofi yang berasal dari Amerika-Selatan untuk dipasarkan ke daratan Cina. Untuk itu di-bangun Manado sebagai menjadi pusat niaga bagi pedagang Cina yang memasarkan kofi kedaratan Cina. Nama Manado dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manado juga menjadi daya tarik masyarakat Cina oleh kofi sebagai komoditi ekspor masyarakat pedalaman Minahasa. Para pedagang Cina merintis pengembangan gudang kofi (kini seputar Pasar 45) yang kemudian menjadi daerah pecinan dan pemukiman. Para pendatang dari daratan Cina berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat pedalaman hingga terbentuk masyarakat pluralistik di Minahasa bersama turunan Spanyol, Portugis dan Belanda.

Kemunculan nama Manado di Sulawesi Utara dengan berbagai kegiatan niaga yang dilakukan Spanyol menjadi daya tarik Portugis sejak memapankan posisinya di Ternate. Untuk itu Portugis melakukan pendekatan mengirim misi Katholik ke tanah Minahasa pada 1563 dan mengembangkan agama dan pendidikan Katholik.

Sebenarnya kedatangan Portugis ke Minahasa adalah kehendak kesultanan Ternate yang waktu itu berada dibawah kepemimpinan Sultan Hairun yang mengklaim bahwa Sulawesi-Utara sebagai fazal ekonomi kesultanan yang diganggu Spanyol. Sultan Hairun juga menggunakan kekuatan Portugis untuk "menjinakkan" masyarakat "Alifuru" yang tidak ingin tunduk kepada kepemimpinan kesultanan Ternate.

Kedatangan para musafir Portugis diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk setempat, tetapi tidak disenangi Spanyol, karena menjadi saingan. Dilain pihak penduduk setempat tidak menyenangi Spanyol karena sering membuat onar, apalagi merusak sentra-sentra budaya masyarakat pedalaman. Persaingan Spanyol dengan Portugis memuncak hingga Minahasa menjadi ajang konflik. Pertikaian berakhir dan Spanyol memperoleh konsesi di Sulawesi Utara ketika Spanyol dan Portugis menjadi kesatuan dibawah kepemimpinan raja Spanyol pada 1580.

Simon Kos, seorang Belanda, pejabat VOC di Ternate pada tahun 1630 memasuki tanah Minahasa dibawah pengaruh Spanyol. Kos melaporkan hasil perjalanannya kepada Batavia yang waktu itu menjadi pusat pemerintahan dibawah kekuasaan persekutuan dagang, ‘Verenigde Oost-Indiesche Compagnie.” Kos melaporkan bahwa Sulawesi Utara cukup potensial, baik lahan maupun posisi letaknya strategis sebagai jalur lintas rempah-rempah dari perairan Maluku menuju Asia-Timur. Lagi pula jalur lintas niaga laut lebih tenang bagi pelayaran kapal-kapal kayu dibanding melalui Laut Cina Selatan. Kos melaporkan bahwa kehadiran Spanyol di Laut Sulawesi hingga perairan Maluku Utara merupakan ancaman bagi kepentingan niaga VOC bila ingin menguasai gudang rempah-rempah kepulauan Maluku.

Laporan Simon Kos mendapat perhatian dari Jan Pieter Zoon Coen, Gubernur-Jendral VOC di Batavia yang ingin mengusir Spanyol dari kepulauan Maluku Utara guna melakukan monopoli. Usaha perluasan pengaruh di Laut Sulawesi memperoleh peluang bagi VOC terjadi disaat penduduk Minahasa berjuang menghadapi kolonialisme Spanyol. Minahasa mengalami rawan sosial, dan wanita setempat menjadi korban pemerkosaan dari para musafir Spanyol.

Masa itu VOC memperoleh dukungan dari pemerintahannya yang dilanda trauma kolonialisme Spanyol di Eropa Utara, termasuk Belanda. Invasi itu menyebabkan Belanda perang kemerdekaan di pertengahan abad ke-16 yang mashur dengan sebutan Perang 80 tahun. Spanyol kalah, dan kekalahannya berlanjut hingga Asia-Timur dan Asia-Tenggara serta kawasan Pasifik Barat-Daya. Selain dengan Spanyol, Belanda juga memusuhi Portugis yang juga menjadi saingannya dalam usaha perluasan koloni. Yang terakhir ini juga berlomba adu pengaruh dengan Spanyol memperebutkan gudang produksi rempah-rempah di Maluku sebelum pembentukan pemerintahan gabungan Portugis-Spanyol pada 1580.

Pada waktu itu tempat bermukim masyarakat pendatang dari spanyol terletak disebuah daerah yang disebut dengan Kema, nama Kema dikaitkan dengan pembangunan pangkalan militer Spanyol ketika Bartholomeo de Soisa mendarat pada 1651 dan mendirikan pelabuhan di daerah yang disebutnya ‘La Quimas.’ Penduduk setempat mengenal daerah ini dengan nama ‘Maadon’ atau juga ‘Kawuudan.’ Letak benteng Spanyol berada di muara sungai Kema, yang disebut oleh Belanda, "Spanyaards-gat," atau Liang Spanyol.

Kota Kema merupakan pemukiman orang Spanyol, dimulai dari kalangan "pendayung" yang menetap dan tidak ingin kembali ke negeri leluhur mereka. Mereka menikahi perempuan-perempuan penduduk setempat dan hidup turun-temurun. Kema kemudian juga dikenal para musafir Jerman, Belanda dan Inggris. Mereka ini pun berbaur dan berasimilasi dengan penduduk setempat, sehingga di Kema terbentuk masyarakat pluralistik dan memperkaya Minahasa dengan budaya majemuk dan hidup berdampingan harmonis. Itulah sebabnya hingga masyarakat Minahasa tidak canggung dan mudah bergaul menghadapi orang-orang Barat.

Sejak saat itu Manado mulai mendapat perhatian, "orang Gunung" adalah sebutan untuk penduduk asli Minahasa- terutama setelah dibangun sekolah-sekolah dan gereja oleh misionares Katholik Portugis dan Spanyol. Berlanjut dengan gereja-gereja Protestant dari Belanda dan Jerman. Manado kemudian berkembang dengan masyarakat turunan Spanyol, Portugis, Belanda dan Jerman. Juga dengan kedatangan turunan Jawa, Banjar, Flores, Timor, Maluku hingga terbentuk masyarakat hitrogin dengan bahasa Melayu pasar (dialek Manado) sebagai bahasa pengantar. Pada 1854, jumlah penduduk Manado berkisar 2529 orang. Diantaranya terdapat 291 turunan Eropa, 630 turunan Cina dan 1043 turunan Borgo (Indo-Eropa). Borgo sendiri adalah sebuah sebutan untuk orang Eropa yang darahnya sudah tidak murni lagi dari nenek moyang mereka, tetapi sudah terjadi percampuran genetis dengan warga atau penduduk lokal maluku.

2. Kehidupan Masyarakat Peranakan Eropa Di Minahasa

Semenjak kedatangan bangsa eropa ke bumi minahasa diawali spanyol dan portugis dan kemudian menyusul belanda terjadilah pernikahan silang antara pendatang dari eropa dengan penduduk lokal minahasa. Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang anak dengan ciri-ciri fisik ke-eropa-eropaan yang hidup dalam sebuah masyarakat yang diseput dengan kaum Borgo. Kaum borgo sendiri termasuk kedalam sub-etnik Toumbulu. Tombulu mendiami wilayah tengah Minahasa, yaitu di wilayah Kota Tomohon dan Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa.

Orang Minahasa dahulu kala mempunyai sistem kepercayaan tradisional yang bersifat monotheisme. Agama suku Minahasa adalah agama yang memuja adanya satu pencipta yang superior yang disebut Opo Wailan Wangko, Empung. Agama asli Minahasa oleh orang Eropa disebut Alifuru, yang memiliki ciri animisme, walaupun hal ini ditolak oleh sejumlah ahli. Orang Minahasa juga mengenal adanya kekuatan semacam dewa, yaitu orang-orang tua yang memiliki kekuatan spiritual maupun yang dihormati dan disegani (para dotu) yang telah meninggal. Mereka ini kemudian disebut sebagai Opo (suku Tontemboan menyebutnya Apo).

Sang Esa dikenal dengan nama Empung, atau Opo Wailan Wangko, Opo Menambo-nembo, Opo renga-rengan, yang bermukim di Kasendukan serta dilayani para Opo (dewa). Disamping dunia manusia di bumi, penduduk percaya ada dunia tengah (Kalahwakan) yang didiami para Dotu. Para Dotu ini menjadi medium manusia di bumi dengan Empung di dunia atas. Leluhur awal mempercayai jiwa manusia tidak mati, tapi pergi ke tempat tinggal leluhurnya.

Hal terbesar yang kemudian mendominasi kehidupan masyarakat borgo berdasar dari apa yang nenek moyang mereka dahulu bawa adalah agama Kristen. Agama kristen kini mempengaruhi hampir seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat bargo, dan menjadi corak kegiatan masyarakat tersebut, namun tidak menghilangkan begitu saja hal-hal yang sejak awal sudah ada di tanah minahasa, hal-hal tersebut tetap ”tetap” dipertahankan dalam kerangka agama Nasrani. Dahulu kala pada saat bangsa Eropa tiba di Minahasa, agama Kristen diterima dengan tangan terbuka. Pada mulanya agama Kristen Katolik disebarkan oleh misionaris bangsa Spanyol dan Portugis abad ke-16 dan 17 dan dilanjutkan abad ke-19. Pada saat Belanda masuk di Minahasa, pemeluk Katolik dialihkan menjadi Protestan. Penyebaran Protestan dilakukan oleh zendeling (pekabar injil Belanda) berkebangsaan Jerman dan Belanda. Kedudukan kolonial Belanda yang bertahan selama tiga abad di Minahasa menyebabkan orang Minahasa lebih banyak memeluk aliran Protestan.

Setelah agama Kristen diperkenalkan oleh para misionaris dan zendeling dari Eropa maka agama Kristen diterima oleh orang Minahasa sebagai agama suku-bangsa Minahasa. Aliran Kristen yang terbesar adalah Kristen Protestan, khususnya Presbiterian (atau Kalvinis), selain aliran protestan lainnya seperti Pantekosta, Advent, Baptis. Jumlah pemeluk Protestan berkisar 80-90 persen. Kristen Katolik juga menjadi aliran kristen yang dipeluk oleh orang Minahasa walau hanya berkisar 10 persen

3. Kesenian Hasil Akulturasi

Toumbulu sebagai salah satu sub etnis Suku Minahasa yang mendiami wilayah tengah Minahasa yang disebut juga sebagai orang Borgo, yaitu di wilayah Kota Tomohon dan Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa, memiliki sebuah perangkat organisasi adat yang terus melestarikan dan mengembangkan budaya sub etnis Tombulu, organisasi trsebut adalah Pakasaan Tombulu. Organisasi masyarakat ini telah membangun suatu amfiteater dengan pemandangan indah ke gunung api Lokon yang masih aktif dan gunung Empung dimana suku Toumbulu dulu menganggap terdapat tempat dewa-dewa mereka. Di keliling amfiteater terdapat banyak mata air yang konon kabarnya bisa menyembuhkan atau membuat orang yang mandi di situ menjadi lebih pintar. Juga di kompleks organisasi pakasaan Toumbulu yang bernama Rano Walanda, terdapat banyak Waruga. Waruga adalah batu yang berlubang dimana masyarakat Minahasa dulu meletakkan mayat orang di dalam dan menutupinya dengan batu berukir besar. Lokasi amfiteater Rano Walanda terdapat di desa Woloan I di Kota Tomohon.

Salah satu hasil budaya pninggalan spanyol dan portugis yang masih bertahan hingga saat ini adalah tari Katrili. Tari Katrili sudah sangat akrab dengan masyarakat suku Minahasa. Meski sudah berusia ratusan tahun, tarian tradisional ini masih tetap dilestarikan, walau tak banyak yang tahu. Tarian yang biasa digelar pada acara-acara penting dan menggambarkan tentang pergaulan remaja dan muda-mudi suku Minahasa ini adalah warisan bangsa Portugis dan Spanyol, yang dikenalkan saat mereka menjajah minahasa abad 16 silam.

Tarian diawali dengan para penari memulai tarian dengan lincah serta wajah-wajah ceria. Para penari terlihat begitu dinamis dan tetap semangat, seiring irama bernuansa musik country yang mengiringi tarian ini. Lihat saja kostum yang dikenakan para penari ini. Gaun dan stelan jas penari wanita dan prianya terlihat jelas bercirikan budaya Eropa.

Meski tarian ini merupakan warisan penjajah, tarian yang selalu dipertunjukkan di setiap acara-acara seremonial pemerintah atau di pesta-pesta yang digelar warga ini, ternyata tetap dilestarikan dan dipelihara masyarakat suku Minahasa. Bahkan tarian ini telah menjadi salah satu tarian utama bagi suku Minahasa.

Selain kerap dipertunjukkan di acara pesta, tarian warisan Portugis dan Spanyol ini juga selalu dilombakan di sekolah-sekolah atau pun di berbagai festival kebudayaan. Karena usianya telah ratusan tahun, gerakan-gerakan tarian pun banyak dimodifikasi atau diubah sesuai keinginan para instrukturnya.

Sayangnya, irama musik pengiring tarian ini kini lebih banyak menggunakan rekaman kaset ataupun rekaman cakram. Padahal beberapa tahun lalu musik pengiring tarian ini masih menggunakan alat musik kolintang, yang juga merupakan salah satu alat musik tradisional asli budaya suku Minahasa.


Dari berbagai sumber

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Mama saya bermarga Matau asal daerah Tanawangko tepatnya berasal dari Lolah. Sekarang paling banyak memang ada di desa Lolah, Tombariri Timur. Marga Matau berasal dari marga Borgo yang merupakan keturunan Spanyol Catalan (daerah Barcelona), yang sebenarnya memiliki ejaan Mateu, yang berarti nama "Matius" dalam bahasa Katalunia. Kami keluarga satu-satunya di Minahasa yang bermarga Matau. Kami sebenarnya adalah Borgo Tanawangko, sebab menurut catatan sejarah dari JFG Riedel dalam buku "aasaren tu'a puhuhna ne Mahasa", Spanyol memang lewat di daerah Tanawangko juga terus ke Katinggolan (Woloan Tua) jadi kemungkinan besar juga lewat di desa Lolah yang sekarang.

    Nenek saya dari sebelah papa bermarga Manderos. Ini marga Borgo dari Siau (tapi di Sindulang juga banyak fam Manderos). Aslinya berasal dari Portugal (Mandeiros, Madeiros, Maderos) dari kata Madeira dlm bahasa Portugis, yang berarti 'pohon'.

    BalasHapus
  3. Blog yang bagus... semoga terus berkembang ... Saya ingin berbagi article tentang Strasbourg, kota Europa di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/06/strasbourg-kota-eropa.html
    Lihat juga video di youtube https://youtu.be/hirlxbYRGbY

    BalasHapus